"Temanggung”
Walaupun ada banyak hal yang harus aku
kerjakan disini, entah mengapa beberapa kali aku pun tak lupa untuk melirik
ponselku. Menunggu seseorang menanyakan kabar dan mengatakan rindu. Dengan
sesekali aku melirik jam yang sedari tadi berisik “tik-tok-tik-tok”, dan
disela-sela kesibukanku ini aku juga sempatkan diri untuk membuka kalender.
Mencari warna merah dan menghitung-hitung layaknya masa SD dulu.
Semacam dapat lollipop dari guru matematika, rasa bahagia ini tidak bisa
lagi aku bendung. Meluap-luap dan sejadi-jadinya.
Di akhir bulan Desember nanti, aku punya kesempatan pulang ke kampung
halaman. Dan saking banyaknya deadline serta absen yang wajib diisi tiap
pekannya, aku lagi-lagi lupa dengan segalanya. Pokoknya Sudah mirip mahasiswa
sibuk gilak. Tidak terasa juga, sudah sebuan lebih aku berada disini. Dan
bagaimanapun aku harus pulang, dengan memanfaatkan kesempatan emas ini haha. Namun
rasa bahagia ini, tentu bukan hanya aku yang akan mengalami. Tetapi juga semua
pasukan anak kos yang memang sudah lama berjuang disini untuk IP yang tinggi.
Dan aku yang memang anak perantauan, harap lebih dimaklumi saja. Karena
semenjak tinggal di Jogja aku jadi sedikit lebih kudet soal kotaku yang sekarang.
Aku bisa menebak kemungkinan yang akan aku rasakan ketika pertama kali masuk
melewati gapura “Selamat Datang di Temanggung”, karena aku yakin akan ada
sesuatu yang berbeda yang aku lihat dan aku rasakan.
Intinya, sekarang aku kangen sama suasana di rumah. Namun, ahh . . .
lagi-lagi ketika aku mulai menikmati rindu yang datang ini, setumpuk tugas dan
pekerjaan kos sepeti mencuci, menyapu, masak nasi dan bla bla bla, membuat kangen
ini sedikit tersisihkan. But its oke, aku bisa menyambungnya nanti malam.
***
Aku yang setahun lalu datang dari lereng sumbing-sindoro menuju ke lereng
merapi, dari kota tembakau ke kota gudeg dan hingga akhirnya tiba di daerah
yang istimewa. Well tempat ini jangan disebut “kota” kalau kata Kak Dwita.
Karena namanya Daerah Istimewa.
Dan yeahh, ini adalah musim libur, musim dimana kos-kosan sepi tak
berpenghuni.
Kangen kangen
kangennnnnn.. rasanya pengen cepet-cepet gas agar sesampainya disana, aku masih
bisa melihat matahari mengintip dari balik gunung yang gagah menjulang
berdempetan. Nah itu dia! Susi-ku. “Sumbing-Sindoro”.
Sudah tak
sabar lagi, aku pun kembali memeriksa ranselku. Memastikan semua keperluan sudah
tertata rapi di dalam dan tidak ada yang ketinggalan. Mungkin hanya untuk
beberapa hari saja aku meninggalkan jogja, namun percayalah ini sangat berarti
bagiku.
Sentuhan khas kota tembakau sudah
tercium dari kejauhan. Dimana aku sudah bisa merasakannya ketika aku masih di
perjalanan, tepat di kota Magelang. Lampu merah yang berkali-kali membuatku
harus berhenti memang sedikit menguras waktuku. “Please Calm Down, beibh”,
hihihi itu kalimat yang aku baca dari bak pasir milik salah seorang sopir yang
berhenti di depanku. Oke, I’m Calm :D.
Seperti ada magnet yang membuat
kedua rodaku terus melaju. Tanpa henti dan sangat lincah akan kondisi jalan yang
menuju kotaku. Dan sepertinya dia tahu kemana harus pulang, tanpa harus ada
arahan dari kedua tanganku. Jujur, tidak pernah aku melakukan kerjasama sebaik
ini, yeah.. kerjasama yang terjalin antara aku dan sepeda motorku. Hehe.
Tak terasa
hawa dingin mengikutiku sejak tadi. Ia menusuk-nusuk tulang belulangku. Dan
nafasku kini tidak lagi normal, membuat kaca helmku tertutup uap dingin yang
berasal dari pernafasanku. Sedikit menghalangi pemandangan bentang alam dari
Jembatan Rel di Kali Kuas. Namun aku tidak begitu menghiraukan uap ini.
Aku terus melaju bersama sepeda motorku untuk menuju
pusat kota Temanggung. Dan sesampainya di perbatasan kota, aku disambut hangat
oleh sederetan pohon dengan cat warna peach di pinggir jalan. Dengan sesekali
mereka kibaskan rimbunnya daun untuk memberikan sentuhan yang menimbulkan rindu
ini semakin menjadi.
Aromanya, kesejukannya membuat aku
semakin kagum akan tanah kelahiranku ini. Senang rasanya melihat beberapa
lokasi yang mengalami kemajuan, serta bangunan-bangunan jadul yang mendapat
perhatian khusus dari pemerintah kabupaten. Dan yang terlihat pada kenyataan
sekarang ini, kotaku tidak setenang dulu. Namun, bisingnya kota karena saking
banyaknya pengguna jalan serta riuhnya suara klakson ini malah membuatku merasa
bangga. Karena sekarang kotaku tidak lagi sepi, tidak seperti zaman aku SMP
dulu. Karena pada waktu itu apa yang kebanyakan orang butuhkan tidak bisa
mereka dapatkan disini, sudah mirip kota mati. Dan Temanggoeng Tempo Doeloe,
memang teramat berkesan dan susah dilupakan bahkan masih sering dirindukan oleh
sebagian masyarakat. Tapi bukan masyarakat era 95’an seperti aku ini. Yang
sedikit bersifat hedonisme. Tidak mencintai produk lokal, malah beralih ke
pasar Neo-Liberal yang mematikan pasar tradisional. Sudah kelewat ABG Labil
pokoknya.
Dan tak jauh berbeda dengan kota-kota
lain di Indonesia, ciri khas juga hampir sama dimiliki oleh kotaku. Salah
satunya adalah alun-alun. Dan lokasi itulah yang aku pilih sebagai tempat
persinggahan. Tepatnya disebuah Masjid Agung Darusaalam, persis disebelah utara
alun-alun. Aku parkirkan motorku dan masuk ke dalam untuk sembahyang dan sesaat menikmati
pusat kota. Tempat ini benar-benar membuatku menjadi orang asing. Berkali-kali
aku dikejutkan oleh wajah baru kota Temanggung. Yaa maklum saja, aku memang
sudah lama tidak pulang. Jadi terlihat heran gitu dehh.. hehe. Aku cukup banyak
dikagetkan oleh nuansa baru di kota ini, banyak banget yang berubah pokoknya.
Dan aku senang menikmati ini, duduk imut di depan masjid
agung. Berleha-leha dan bebas berandai mengulang waktu. Dan satu persatu
bayang-bayang masa lalu bergantian menghampiriku. Dimana kota ini menyimpan banyak
kenangan dan sejarah untuk aku di masa culunku bersama teman-teman SMA dulu. “Buk . . Berikan
kesempatan agar aku bisa pulang lebih malam”. Ingin sekali
rasanya aku melihat ketika
lampu-lampu yang terlilit itu menyala dan berkelap-kelip. Pasti dia kelihatan
lebih cantik di malam hari.. :) andai kamu punya ini dari dulu pas aku masih
SMA. Ah.. malah jadi keinget mantan kan.
Berjalan menghirup udara malam disini,
menghabiskan waktu dengan ribuan cerita jenaka. Malam itu indah tidak bertepi,
apa lagi tepat dibawah sinar rembulan. Genggaman tangan dari mantan 2 tahun
lalu kembali terasa lagi sore ini, aku ingat betul kita duduk tepat sejengkal
dibawah lampu kota sambil nyanyiin lagunya Anggrek Boelan. Backsongnya sih lagu
lokal aja dari tetangga. Genrenya reggae tapi syairnya romantis hehe. Makasih
aja buat kemarin, pokoknya nice to meet you. Astagfirullahalazim, malah baper.
Duhh!
Tidak terasa Azan Ashar-pun berkumandang,
sudah sejauh mana aku ini melamun. Yang pasti aku tidak kuasa lagi memiliki
ruang untuk terus melamunkan masa lalu yang indah itu. Karena aku tahu
perjalanan untuk sampai ke rumahku masih lumayan jauh. Jadi dengan berat hati aku harus
mengangkhiri semua ini. Namun tidak akan cukup sampai disini. Karena pesona
Temanggung akan lebih terasa ketika aku melanjutkan perjalananku menuju rumah.
Terbukti
dengan adanya beberapa bangunan dan atribut baru yang disajikan untuk para
pelancong maupun masyarakat asli. Bukti itu sangat nyata adanya. Mereka bukan
saja menghias pusat kota, namun pada daerah-daerah lain yang masih merupakan
bagian dari Kabupaten Temanggung. Yang jelas, aku bangga melihatmu bersenyum
kembali, setelah apa yang kau alami beberapa tahun ini. Namun semua itu tentu tak lepas dari kehadiran primadona kita yang menjadikan
kota ini sebagai kota Metropolitan. Dimana dia sangat berperan penting,
menjadikan Tembakau sebagai IKON kota Temanggung. Dan emas hijau yang seksi ini
hadir sebagai anugrah dalam pulung dari Tuhan. Dia adalah fenomena alam bernama
Srintil.
Srintil bukanlah sesosok gadis desa
yang menjadi primadona pemuda, namun lebih dari sesosok yang seksi yang
didambakan semua petani tembakau. Yang slalu mendapat perlakuan istimewa dari
pabrik-pabrik rokok, sebab Srintil menjadi bumbu rahasia dalam pembuatan rokok.
Aromanya yang khas dan begitu kuat memberikan sensasi kenikmatan yang luar
biasa di sisi penikmat tembakau.
Dan sebagai masyarakat lokalnya, aku
patut bangga atas apa yang dimiliki kotaku tercinta ini. Karena negeri kami
adalah satu-satunya penghasil tembaku dengan kwalitas nomer 1 di Indonesia
bahkan dunia. Sungguh fantastis untuk si seksi dari lereng Sindoro dan Sumbing
ini, yang terlihat memang tidk sebanding dengan morfologinya yang busuk, dan
becek berair, namun itulah madu yang mengalir dari lembaran daun nikotin. Tapi
sayang.. dia tidak akan nampak pada bulan ini. Mungkin lain kesempatan apabila
waktu itu tiba, aku akan datang menyaksikan proses terciptanya Dewi Srintil.
Sehingga aku bisa merasakannya lagi sentuhan khas kota Tembakau.
Tidak
lupa, aku senantiasa melantunan dalam untaian doa harapan yang dikumandangkan
agar esok hari tetap cerah, dan untuk tahun 2016 mendatang, harapannya
Temanggung menjadi kota yang dapat dibanggakan oleh Indonesia. Diakui atas
segala yang dimilikinya. Diakui keberadaannya. Dan bukan hanya kota
metropolitan disisi timur Sindoro dah Sumbing di bulan Agustus hingga
September. Namun juga untuk setiap bulannya. Meski begitu, semua masih menjadi
harapan yang semoga menjadi kenyataan. Amin.
Dan tanpa ada batasan waktu lagi,
Temanggung bagiku adalah Surga kecil dari bulan Januari hingga bulan Desember.
Dari aku lahir hingga aku mati nanti.
***
0 komentar:
Posting Komentar