KEBUDAYAAN KHAS TEMANGGUNG
Seni adalah sesuatu yang bersifat universal di belahan dunia
ini, entah di negara manapun selalu memiliki ciri khas tersendiri apabila
ditinjau dari segi budaya. Sedangkan dari segi arkeologis terdapat data
etnografi berupa kesenian di sebuah kalangan masyarakat tertentu, yang
dijadikan sebagai salah satu bahan analogi dalam usaha merekonstruksi
kebudayaan seni masyarakat tersebut pada masa lampau berkaitan dengan konsep
kesenian. Tak terkecuali di Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah,
ternyata juga menyimpan pesona tersendiri dengan adanya seni cengklungan yang
konon adalah budaya asli Temanggung.
1. Cengklungan
Seni Khas Temanggungan.
Di tengah hiruk pikuknya ekspansi modernisasi, kesenian
tradisional itu masih mampu bertahan hidup meski dengan segala keterbatasan.
Adalah semangat para senimannya untuk tetap berjuang melestarikan budaya
warisan leluhur ini. Generasi kini tak banyak tahu apakah cengklungan itu. Ini
dibuktikan dengan hanya beberapa orang dari generasi muda Temanggung yang tahu
tentang kesenian tradisional ini.
Seperti dalam Festival Budaya Temanggung yang digelar dalam
rangka memeriahkan hari jadi ke-175 Kabupaten Temanggung beberapa waktu lalu,
kesenian cengklungan turut serta memeriahkannya. Selain itu grup-grup kesenian
lain yang berasal dari berbagai wilayah di Kabupaten Temanggung tak ketinggalan
ikut berpartisipasi. Kesenian tradisional tersebut antara lain: warokan, kuda
lumping, sorengan, ndayakan, kubro, siteran, petilan wayang, bangilun,
prajuritan, tayub, srandul, wulangsunu, cokekan, barsomah dan lain-lain.
Dari sekian banyak kesenian tradisional yang ditampilkan,
cengklungan ternyata mampu menyita perhatian para penonton. Kebanyakan dari
para penonton cukup antusias menikmati penampilan para seniman cengklungan yang
memang sudah amat jarang ditemukan keberadaannya. Tak heran jika para penonton
langsung bergerak maju ingin menyaksikan kesenian ini dari dekat begitu nama
cengklungan disebut oleh panitia.
Dalimin WS, sesepuh sekaligus pelatih seni cengklungan dari
Desa Geblok Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, bersama rekan-rekannya
dengan gigih dia mencoba mengenalkan kembali tradisi yang hampir punah ini.
Menurut pria berusia 60 tahun itu asal mula cengklungan memang masih tanda
tanya. Dia mengatakan jika kesenian yang satu ini boleh dikata masih kabur
sehingga hingga kini tidak diketahui secara pasti siapa yang mula-mula
memperkenalkan. Namun menurutnya, pada jaman penjajahan Belanda kesenian itu
sudah ada. Bahkan hampir di seluruh pelosok desa di Temanggung kala itu
kesenian cengklungan lazim dimainkan bila sedang ada acara-acara tertentu seperti
perkawinan atau khitanan.
Pak Dalimin memang sudah menjadi legenda di dalam kesenian
Cengklungan ini. Pertama kali belajar cengklungan pada saat masih berusia 10
tahun dengan dilatih oleh ayah dan kakeknya, dia menjadikan cengklungan salah
satu kesenian yang diperhitungkan di Temanggung. Semenjak terjun di dunia ini
pula beliau tidak pernah letih mengajarkan cengklungan kepada masyarakat dan
warga sekitar tempat tinggalnya.
Sudah sekitar 10 tahun ini dia mendirikan Paguyuban Seni
Cengklungan di tempat tinggalnya di desa Geblok, Kaloran, Temanggung. Meskipun
jumlah peminatnya masih sedikit, pria berkacamata ini tetap yakin bila
perkembangan cengklungan akan dapat lebih dikenal oleh masyarakat luas.
Tiap hari senin dan rabu malam, suara khas cengklungan
berkumandang di depan balai desa Geblog. Para Seniman dari Paguyuban Seni
Cengklungan ternyata sedang melakukan latihan. Mereka memainkan lagu-lagu
langgam jawa dan lagu-lagu jaman sekarang. Tak jarang warga sekitar yang sedang
menontonpun ikut bernyanyi dan larut dalam suasana malam. Latihan seperti ini
memang rutin digelar dua kali tiap minggu. Dengan anggota sekitar 25 orang,
paguyuban ini siap tampil bila ditanggap oleh pihak-pihak yang sedang punya
hajat. Contohnya mereka pernah tampil di acara-acara pengajian, pernikahan,
khitanan, dan lain-lain. Bahkan bapak Bupati Temanggung pun sering mengundang
mereka pada saat acara-acara khusus di Pendopo Kabupaten.
Selanjutnya masih menurut Pak Min, begitu dia dipanggil,
cengklungan sebenarnya bercerita tentang kehidupan petani. Setiap gerakannya
menggambarkan tarian petani dalam mengolah tanah pertaniannya. Ada gerakan
mencangkul, menanam padi, menyiangi padi, menghalau burung, menuai sampai
menumbuk padi.
Sebenarnya dulu kesenian ini diciptakan dengan tidak
sengaja. Yaitu berawal dari spontanitas para penggembala yang sedang menunggu
ternaknya, mereka berkreasi memodifikasi payung kruduk dengan suket grinting
dan bambu, ternyata tingkah polah mereka mampu mengeluarkan bunyi-bunyi yang
harmonis ditambah nyanyian rakyat.
Uniknya alat musik pengiring yang bernama cengklung
tersebut, berasal dari payung kruduk (sejenis payung/mantol) yang dulu sering
digunakan para penggembala ternak ketika musim hujan. Payung kruduk yang kini
jarang kita temui, ternyata tersimpan di sebuah museum di Den Haag Belanda.
Benda ini terbuat dari bambu, clumpring, ijuk dengan dawai dari suket (rumput)
grinting. Keseluruhan alat musik pengiring terdiri dari empat payung kruduk dan
satu buah seruling bambu. Cengklung itu sendiri dibagi menjadi beberapa fungsi
yakni bass, kendang ketuk, kenong dan melodi/siter.
Kini para seniman cengklung itu berupaya untuk lebih
memasyarakatkan seni tersebut baik di Temanggung maupun di luar kota. Tahap
regenerasi pada kaum muda pun terus diupayakan demi kelangsungan hidup kesenian
khas Temanggung ini. Namun demikian mereka kini dengan semangat dan tetap
berharap mendapat dukungan dari Pemkab Temanggung serta masyarakat luas. Mereka
juga berkeinginan untuk memiliki kostum tersendiri khas Cengklungan.
Salah satu upaya agar kesenian cengklungan ini lebih
memasyarakat, Pemerintah Daerah Kabupaten Temanggung mewajibkan di setiap
kegiatan di daerah-daerahnya, menampilkan atraksi kesenian ini. Kegiatan ini
membutuhkan partisipasi masyarakat pada umumnya dan instansi terkait pada
khususnya.
Tujuannya adalah untuk melestarikan kebudayaan asli
Indonesia dan hal yang paling penting dari itu semua adalah agar kebudayaan
asli Nusantara tercinta ini tidak hilang karena diklaim oleh negara lain.
Tentunya sedih hati ini bila hal tersebut sampai terjadi.Kelak kesenian
cengklungan ini dapat bersaing dengan kesenian tradisional lain di Indonesia.
Bukan tidak mungkin cengklungan dapat sejajar dengan angklung dari Jawa Barat
atau Sasando Rote dari Nusa Tenggara Timur yang lebih dikenal orang bila
pemerintah dan pihak-pihak terkait serius untuk mengembangkan kesenian ini.
2. Kuda
lumping / Jaran kepang
Kuda Lumping menjadi satu budaya yang banyak diminati
masyarakat Temanggung. Terbukti dengan adanya kelompok kesenian Kuda Lumping
yang berjumlah sekitar 500 kelompok yang tersebar di seluruh wilayah
Temanggung. Seni kuda lumping sendiri pada saat ini sudah mulai muncul kembali
di dunia pentas hiburan rakyat, yang selama ini tertutup oleh ekspansi budaya
elektronika yang gencar dipublikasikan di media elektronik.
Pada tahun 2009 lalu mulai lagi bermunculan group-group baru
kuda lumping dipelbagai kecamatan di Temanggung. yang mulai mengkombinasikan
dari kesenian asli dengan kesenian modern.Kebudayaan yang satu ini memang
sering dikaitkan dengan unsur "Klenik" atau magis, namun sebagai
Pemuda hendaknya kita mengambil sikap yang positif dimana masih ada orang-orang
yang mampu bertahan untuk melestarikan budaya asli daerah mereka di antara
himpitan ekonomi, politik maupun budaya yang semakin menyingkirkan kesenian
ini.
Ada 3 fragmen tarian kuda lumping, yaitu :
a. Tari Buto Lawas;
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria
saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi
kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para
penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para
penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang
menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari.
Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan
terlihat kompak dengan para penari lainnya. Untuk memulihkan kesadaran para
penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para
datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat
dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan
memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
b. Tari Senterewe
Pada fragmen selanjutnya, penari
pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
c. Tari Begon Putri
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih
santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian
penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.
3. Warokan
Warokan juga salah satu perserta festival seni yang diadakan
hampir setiap tahunnya. Warokan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki dewasa,
tapi juga anak-anak. Kostum yang digunakan adalah kain batik atau biasa disebut
Jarit dan dan membawa peralatan menari seperti cemeti. Pemain Warok dirias
sedemikian rupa sehingga mencerminkan kegarangan sebagai prajurit garis
depan.Tariannya juga menggambarkan seorang yang gagah perkasa, berwatak pantang
menyerah.
4. Kobra
Siswo
Kesenian yang satu ini,konon merupakan representasi dari
olah raga. Kesenian ini berarti mengajak masyarakat untuk gemar berolah raga,
menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat dan bugar. Cukup masuk akal memang,
karena kesenian ini berbeda dari yang lainnya. Gerakannya cepat dan energik.
Namun, meskipun demikian tetap ada tatanan tarian yang harus diikuti dan harus
seragam antara pemain satu dengan pemain yang lainnya.
5. Dayakan
Dayakan merupakan pengembangan dari tarian Kubro Siswo.
Perbedaannya adalah pada kostum. Kubro Siswo hanya menggunakan celana kolor dan
rompi saja, sedangkan dayakan menggunakan kostum berupa pakaian setengah Dayak
dan setengah Indian, yaitu terdapat bulu-bulu di bagian topi. Menggunakan kaos
ketat dan dilengkapi dengan Rencong. Gerakannya tidak kalah energik dengan
Kubro Siswo.
6. Pengantin
Khas Temanggung
Busana khas Temanggung digali, diciptakan dan dikembangkan
agar nantinya menjadi busana yang dimiliki dan dipakai oleh masyarakat
Temanggung sendiri dengan rasa bangga pada setiap saat yang tepat sesuai dengan
norma dan kententuan yang ada, sehingga jika daerah lain melihat akan menilai
bahwa busana yang dipakai orang Temanggung menunjukan identitas bahwa orang
tersebut adalah orang Temanggung karena busana khasnya.
7. Tradisi
Sadranan
Sadranan di desa jetis Kecamatan Selopampang Kabupaten
Temanggung yang dilaksanakan Jumat (7/8)
berlangsung meriah, diikuti ratusan warga. Upacara ritual sadranan yang rutin
diselenggarakan setahun sekali pada
setiap hari Jum’at Pahing bulan Ruwah
itu, ditandai dengan pesta nasi tenong dan ingkung ayam yang jumlahnya mencapai
500 buah. Sesepuh Desa Jetis Mukidi yang juga menjabat Kepala Urusan
Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra)
menjelaskan, tradisi sadranan
sudah berlangsung turun temurun sejak dulu kala. Sadranan diselenggarakan sebagai ungkapan rasya syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas berkah, rejeki dan keselamatan yang telah
diberikan selama ini, sehingga warga desa bisa hidup tentram dan sejahtera. Selain itu juga dimaksudkan untuk mengenang arwah para
leluhur desa yang semasa hidupnya telah berjasa
merintis keberadaan desa.
Tradisi sadranan ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukur
atas limpahan rejeki dari Tuhan Yang
Maha Esa, sekligus untuk mengenang Nyi Nondo yang diyakini sebagai leluhur perintis desa“ ujarnya seraya
menambahkan, tradisi sadaranan diawali dengan
pembacaan Tahlilan di komplek makam.
Menurutnya, peserta sadranan tidak hanya diikuti warga Desa
Jetis saja namun juga diikuti sejumlah warga luar desa yang mempunyai leluhur
di Jetis. Mereka sambil membawa nasi
bucu tenong, ingkung ayam dan aneka jajanan
berdatangan di komplek makam desa yang dijadikan tempat ritual Sadranan. Seluruh peserta dengan penuh khidmat duduk berjajar mengikuti seluruh prosesi ritual
yang ditandai berdoa bersama, dipimpin
ulama desa. Seusai doa untuk memohon
keselamatan dan limpahan rejeki dari yang maha kuasa, makanan yang mereka bawa kemudian dinikmati
sebagai ungkapan syukur. Sementara itu sembari
menikmati makanan, beberapa
petugas mengambil potongan nasi bucu
berikut sebagian lauk pauk dan jajanan untuk dikumpulkan . Hasil makanan yang
dikumpulkan, setelah dikemas dalam
ratusan kantong plastik, kemudian dibagikan kepada seluruh peserta dan
tamu undangan sebagai nasi berkat untuk
dibawa pulang.
C. KESENIAN PARAKAN,
TEMANGGUNG
a. Sejarah
Berdasarkan catatan sejarah Nugroho Notosusanto, daerah
Parakan ini adalah merupakan sima atau semacam tanah hibah pada masa Mataram
Kuno. Beberapa peninggalan berupa prasasti dan candi bisa ditemui di sekitar
wilayah Parakan, di antaranya Candi Gondosuli yang berada di sebelah tenggara
Parakan.
Pada zaman penjajahan dulu daerah ini terkenal dengan
senjata bambu runcing. Salah satu tokoh penggerak para pejuang pada masa perang
kemerdekaan adalah K.H. Subchi (nama aslinya Subuki) yang dijuluki
"Jenderal Bambu Runcing" (sekarang namanya diabadikan menjadi nama
sebuah jalan di kampung Kauman Parakan), sedangkan tokoh-tokoh yang lain
diantaranya K.H. Nawawi (dengan nama kecil: Islam), K.H.R. Sumo Gunardo, K.H. M
Ali ((pengasuh pesantren tertua di Parakan), K.H. Abdurrahman, Sahid Baidzowi,
Ahmad Suwardi, Istachori Syam'ani Al-Khafidz dan masih banyak lagi yang lain.
Parakan juga merupakan tempat lahir tokoh perjuangan nasional Mohamad Roem,
yang terkenal sebagai delegasi Indonesia dalam perundingan diplomasi
Roem-Roijen.
Dikatakan Parakan karena bersemayam kyai yang disebut parak atau perek. Kyai
Parak pertama berasal dari Yaman dan yang kedua dari pelarian Mataram ketika
Amangkurat II memerintah dan dalam struktur pemerintahan zaman Belanda tidak
pernah tercantum kelurahan Parakan melankan Jetis, Klewogan dan sebagainya
namun dalam susunan berikutnya menjadi daerah kawedanan masih banyak yang harus
diungkap tentang parakan termasuk perhatian pemerintah hindia belanda dengan
parakan karena banyak pelarian tentara diponegoro yang mengungsi di Parakan
sehingga Belanda sengaja menjadikan Parakan sebagai pusat candu agar generasi
mudanya rusak dan sulit untuk bergolak menentang Belanda.
Parakan pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten menoreh
dengan bupati terakhir KRT. Sumodilogo yang membuat heboh dan meninggal dibunuh
oleh tentara Diponegoro dimakamkan di Kalam Jolopo Krasak sedang kepalanya di
Selarong, Yogyakarta. Menurut catatan ada beberapa ulama pengikut Pangeran
Diponegoro yang bermukim di Temanggung al. Kyai Shuhada.
b. Tempat
Bersejarah Terdekat
1. Kreteg Kali Galeh, Jembatan
Sungai (Kali) Galeh lama masih digunakan sebagai penyeberangan pejalan kaki.
Pada masa penjajahan Belanda, jembatan tsb pernah dibumihanguskan para Pejuang
untuk menghalau penjajah masuk Kota.
2. Masjid Al Barakah Monumen
Bambu Runcing, Kauman Parakan merupakan Markas perjuangan pada masa penjajahan
Belanda. Sudah beberapa kali Masjid bersejarah ini dipugar.
3. Monumen Stasiun Sepur,
Parakan Wetan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, stasiun ini digunakan sebagai
terminal pengangkutan para pejuang (terutama dari Jawa Timur) yang akan
menyepuh (memberikan kekuatan spiritual) Bambu Runcing kepada para Kyai di
Parakan.
4. Pasar Legi, Jetis Kauman.
5. Pasar Entho, Parakan Wetan.
6. Pemandian Traji.
7. Pondok Pesantren Kyai
Parak, Kauman Parakan.
c. Acara/
Peristiwa Menarik
1. Padusan, acara mandi/ pembersihan
badan bersama, dilakukan di sungai/ kolam, sehari sebelum Romadhon
2. Parade Kesenian Tradisional
Islam, setiap 1 Muharram/ Sura dipusatkan di Masjid Al Barakah Monumen Bambu
Runcing.
3. Pawai Oncor, Parade Obor disertai
Takbir setiap malam lebaran (1 Syawal).
4. Sura, Mantenan Pak Lurah/ bu
Lurah, setiap 1 Muharram/ Sura dipusatkan di Pemandian Traji
5. Nyadran, acara pembersihan di
setiap Kuburan Islam, beberapa hari sebelum Romadhon, setelah selesai
dilanjutkan dengan makan bersama, biasanya makan Sego Gono. Di beberapa desa di
lereng Gunung Sumbing, Nyadran tsb dilakukan dengan memberi makan nasi lengkap
beserta lauk pauk kepada saudara/ famili/ orang yang dihormati.
d. Kesenian
tradisional
1. Kubro (Kubrosiswo): Tarian
dengan memakai seragam & topeng, diikuti dengan alat musik pukul. dimainkan
juga oleh anak anak.
2. Jaran Kepang (Kuda
Lumping): Tarian dengan menggunakan tunggangan kuda yang terbuat dari bambu dan
dihias meriah.
3. Ndibak: Lantunan
puji-pujian Islami dalam bahasa Arab, yang dinyanyikan bersama-sama yaitu
dengan membacakan sebagian kitab Barjanji.
4. Kadaro: lantunan
puji-pujian terhadap rosul diiringi tiga buah terbang besar yang ampai sekarang
masih eksis tiap malam jumah pahing berlatih di musholla wakfiyah (bani israel)
karang tenagah parakan kauman.
5. Zanzanen/ Barjanjen
(selawatan jowo)lantunan pijian kepada nabi saw dengan musik perkusi tradisioal
kelompok ini ada di kampung jogomertan dll .
1 komentar:
Terimakasihh, sangat bermanfaat sekali informasi nya
Posting Komentar